ANALISIS
UNSUR EKSTRINSIK UTAMA PADA NOVEL SAMAN
KARYA
AYU UTAMI
Saman
adalah pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian
Jakarta 1998. Ketika pertama kali terbit, Saman
dibayangkan sebagai fragmen dari novel
pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila
Tak Mampir Di New York. Dalam proses pengerjaan, beberapa sub plot
berkembang melampaui rencana. Tahun 2001, lanjutannya terbit sebagai novel
terpisah berjudul Larung. Kini Saman dan Larung
merupakan dwilogi yang masing-masing berdiri sendiri.
Novel Saman karya Ayu Utami ini
sangat disarankan untuk menganalisanya dari segi apapun. Baik itu dari segi
unsur instrinsiknya maupun unsur ekstrinsiknnya. Pada kesempatan kali ini, saya
akan menganalisa dari segi unsur ekstrinsik utamanya. Unsur ekstrinsik adalah
unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak lansung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Berikut analisis
unsur ekstrinsik utama pada novel Saman.
A.
PENGARANG
Ayu Utami yang mempunyai nama lengkap Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak
kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa
Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya
bernama Bernadeta Suhartina. Ia berasal dari keluarga Katolik.
Pendidikan terakhirnya adalah S-1
Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994). Ia juga pernah
sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995) dan
Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999). Ayu menggemari
cerita petualangan, seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin.
Selain itu, ia menyukai musik tradisional dan musik klasik.
Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina,
urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia model.
Ayu pernah bekerja sebagai
sekretaris di perusahaan yang memasok senjata dan bekerja di Hotel Arya Duta
sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia jurnalistik
dan bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R.
Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia
aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut
mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan
Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai
kurator. Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi
Arus Informasi.
Setelah tidak beraktivitas sebagai
jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel pertama yang ditulisnya
adalah Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi
perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai
novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia
memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut
mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Para kritikus menyambutnya
dengan baik karena novel Saman memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di Jurnal Kalam. Karyanya yang
lain, Larung, yang merupakan dwilogi
novelnya, Saman dan Larung,
juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.
Novel Saman tentunya sangat
terpengaruh besar oleh perjalanan hidup
Ayu Utami dari sekolahnya yang mengambil jurusan sastra sehingga tidak
susah bagi penulis untuk menulis dengan gaya bahasa yang bernilai sastra
tinggi, kemudian ia juga pernah bersekolah Advanced Journalism, Thomson
Foundation, Cardiff, UK (1995) dan Asian Leadership Fellow Program,
Tokyo, Japan (1999), sehingga dia telah mengenal dunia tulis menulis dengan
cangkupan yang lebih luas, lalu ia berkarir menjadi wartawan yang tentunya
berpengaruh besar terhadap novel Saman
. Agama penulis juga sangat berpengaruh besar terhadap isi Novel Saman yang banyak menceritakan tentang kehidupan
seorang pastor, aktifis greja dan banyak
istilah – istilah dalam agama Katolik yang dimunculkan dalam novel Saman.
B. SENSITIVITAS
Karya sastra Ayu Utami yang muncul
pada tahun 1998 yaitu novel Saman, pada
masa itu telah runtuh
rezim orde baru yang tidak hanya membawa kebebasan untuk bersuara, berpendapat
dan berekspresi, namun juga turut mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia.
Perkembangan ini ditandai dengan banyak bermunculan pengarang dan sastrawan
baru yang kritis dan lugas dalam mengeluarkan karya-karya sastra dengan
menyuarakan kondisi-kondisi sosial yang selama ini menjadi hal tabu untuk
dibicarakan untuk diangkat sebagai karya sastra.
Mengenai sensitivitas,
novel Saman karya Ayu Utami
merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel tersebut diciptakan.
Novel Saman merupakan refleksi
dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde
Baru, yang terjadi pada tahun 1990-an. Pemerintahan pada waktu itu di bawah
kekuasaan Soeharto. Pada masa Orde Baru, muncul konflik baru dalam bentuk
demonstrasi mahasiswa yang memprotes beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru,
diantaranya kasus tanah, perburuhan, pendekatan keamanan, dan hak azasi
manusia. Novel Saman merupakan
gambaran peristiwa sengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan pada
masa Orde Baru. Terlihat pada kutipan berikut.
“Kami menjalankan tugas dari Bapak Gubernur.” Salah satunya mengacungkan
selembar kertas berkop pemda, tapi tidak menyerahkan kepadanya Anson. “Menurut
SK beliau tahun 1989, transmigarsi Sei Kumbang ini harus dijadikan perkebunan
sawit. Perusahaan intinya sudah ditunjuk, yaitu PT Anugrah Lahan Makmur.” (Saman,
2006:90)
Kemunculan novel Saman
menjelang saat-saat jatuhnya rezim
Soeharto pada tahun 1998, sempat menghebohkan dunia sastra Indonesia karena
isinya yang dianggap kontroversial, mendobrak berbagai tabu di Indonesia baik
mengenai politik, toleransi beragama, dan seksualitas perempuan. Ada
pihak-pihak yang mengkritik novel tersebut karena dianggap terlalu berani dan
panas dalam membicarakan persoalan seks. Banyak pula yang memujinya karena
penggambaran novel tersebut apa adanya, polos, tanpa kepura-puraan. Terlihat
pada kutipan berikut.
“Lalu kami berbaring di ranjang, yang tudungnya pun belum disibakkan,
sebab kami memang tak hendak tidur siang. Dia katakan, dada saya besar. Saya
jawab tidak sepatah kata. Dia katakana, apakah saya siap. Saya jawab, tolong,
saya masih perawan. (Adakah cara lain.) Dia katakan, bibir saya indah. Ciumlah.
Cium di sini. Saya menjawab tanpa kata-kata. Tapi saya telah berdosa. Meskipun
masih perawan.” (Saman, 2006:4)
Ayu Utami adalah satu diantara sastrawan baru yang memulai
karir dalam kesusastraan Indonesia, dengan karyanya Saman yang telah mengulas
hal-hal tabu yang dulunya masih sangat tidak pantas dijadikan karya sastra. Dan
Ayu Utami juga telah mempelopori kebebasan dalam mengekspresikan karya sastra.
Hal ini disebabkan pandangan hidup seorang Ayu Utami yang bebas dan memiliki pikiran
kritis terhadap pemerintah dan ia juga seorang Katolik yang taat agama membuat
karyanya Saman banyak diwarnai oleh pemikiran yang luar biasa
yang dituangkan secara terang-terangan. Terlihat pada kutipan berikut.
“Tiga lelaki tak
berkasut itu lalu telungkup mencium ubin katedral yang dingin… Bapak ibu tua
meletakkan harapan seperti kuk dan salib, namun pastor diosesan muda itu kini
merasa sebagai seorang prajurit dalam sebuah legiun. Tugasnya akan ditentukan
oleh Bapa Uskup.” (Saman, 2006:40-41)
C. IMAJINASI
Pada
novel Saman karya Ayu Utami mampu menggiring pembaca
kepada dunia yang seolah-olah merupakan realitas yang sesungguhnya.
Setelah membaca novel Saman,
saya berfikir dan berpendapat bahwa kreativitas Ayu Utami lebih terlihat pada unsur
latar novel Saman. Maksudnya, latar
yang dihadirkan Ayu mampu mengangkat ide cerita dan mengemas tema novel Saman menjadi utuh. Latar juga yang mampu mewujudkan
konflik-konflik itu sistematis dan hidup dalam kondisi yang seolah-olah alami.
Latarlah yang menjadikan Saman berbeda dari novel lainnya. Latar yang membuat
Saman seolah-olah menjadikan dunia fiktif menjadi
dunia ilmiah dan dunia yang sesungguhnya. Terlihat pada kutipan berikut.
Perabumulih 1962.
”Perabumulih masih kota minyak di
tengah Sumatera Selatan yang sunyi masa itu. Cuma ada satu bioskop, sehingga
orang-orang biasa membawa anak-anak bertamasya ke rig luar kota, melihat mesin
penimba minyak mengangguk-angguk seperti dinosaurus.”
(Saman, 2006:45)
Juga terlihat dari
Yasmin dan Saman yang saling bertukar surat dari latar tempat yang berbeda. Terlihat
pada kutipan berikut.
Jakarta,
9 Juni 1994
Untuk
Saman:
“Di
taman Firdaus ada seorang lelaki yang terkejut….” (Saman,
2006:191)
New
York, 13 Juni 1994
Yasmin,
“Aku
cemburu. Kamu bersetubuh, aku tidak. Bukankah Lukas lebih perkasa? Aku terlalu
cepat….” (Saman, 2006:194)
Novel
Saman mengedepankan sosok perempuan
dalam fenomena tubuh yang ideologis. Tubuh perempuan menyerupai sebuah lorong
yang panjang dan digambarkan Ayu Utami sebagai sesuatu yang sangat eksis
seperti pada kutipan berikut:
“…Aku menari karena aku sedang
merayakan tubuhku…, si Penari haruslah sintal dan lentur supaya geraknya
menjadi indah bagi hadirin, tidak boleh terlalu bertenaga agar feminin…, Maka,
di pentas ramai itu ia pun menjadi seorang ledek: melenggok untuk memuaskan
penonton….” (Saman , 2006:126).
Pada
bahagian lain, Ayu Utami memperlihatkan dunia lain. Dunia yang tidak pernah
disentuh oleh perempuan khususnya bagi yang belum menikah. Dunia laki-laki
dipersoalkan dan imajinasi tentang tubuh laki-laki dibangunnya dengan serba
seksi. Gaya pengekspresian Ayu Utami seperti itu memperlihatkan bagaimana cara
pandangan perempuan terhadap dunia kesadaran laki-laki. Ayu Utami berusaha
untuk membongkar makna hakiki dari peristiwa yang ditampilkan. Permasalahan yang
masih berhubungan dengan masalah seks yang diungkapkan secara vulgar oleh Ayu
Utami. Terlihat pada kutipan berikut.
“Vaginismus. Aku pernah dengar seorang
perempuan yang tidak bisa berhubungan seks. Vaginanya selalu menutup setiap
kali ada penis di ambangnya baru permisi. Dia trauma pada seksualiatasnya
hingga ke bawah sadar. Dia di satu ekstrim, aku di ekstrim lain.” (Saman,
2006:126)
Dengan
demikian, sebuah teks akan mampu melampaui gaya ungkap secara personal, berupa
dunia kesadaran atau sebaliknya. Inilah yang dilakukan Ayu dalam Saman dengan menggunakan kalimat-kalimat yang agak
vulgar. Gaya pengungkapannya yang bersifat personal yang sebangun dengan imajinasinya
mencerminkan ambiguitas tokohnya.
Pengungkapan
yang penuh simbol dan diksi-diksi yang mencerminkan upaya Ayu Utami untuk
meliarkan imajinasinya pada tingkatan yang bebas. Pada fragmen-fragmen
tertentu, terjadi dialog intensif mengenai petualangan seksualitas yang
dilukiskan secara sadar dan tidak sadar. Seksualitas dan perempuan dikemas
menjadi narasi-narasi yang utuh. Inilah yang membuktikan Ayu Utami memiliki
kreativitas yang tinggi dalam mengemas pengalamannya. Terlihat pada kutipan
berikut.
“Laila, kamu pernah dengar anekdot tentang
pengantin baru yang bodoh? Mereka main tanpa lampu. Si suami setengah mati
berusaha memperawani. Waktu akhirnya dia berhasil dengan penuh keringat dan
lega karena istrinya ternyata masih perawan tulen, ternyata si istri belum buka
celana dalam dan yang ditembusnya adalah celana dalam…” (Saman,
2006:127)
Ayu
Utami terasah oleh komunitas utan Kayu. Dalam komunitas ini, ia membentuk dan
mematangkan ketajaman visi; ia bergulat menemukan ekspresi bahasa; menemukan
gaya pengungkapan yang berbeda dari gaya yang lain.
D. INTELEKTUAL
Penciptaan
novel Saman sejalan dengan kondisi
sosial politik Indonesia; kondisi kehidupan sosial politik Indonesia yang lagi
sembraut. Novel Saman lahir di tengah tuntutan reformasi yang
berapi-api. Pemahaman sastrawan untuk melakukan pendobrakan karena mereka
terjajah oleh kesombongan kekuasaan.
Akan
tetapi, keterjajahan itu tidak mematikan kreativitas para sastarawan.
Masalah pelarangan buku dan pelarangan berekspresi
(pementasan teater, pembacaan puisi, pagelaran lagu-lagu, dan lain-lain) akan
mengganggu berlangsungnya proses kreatif. Akan tetapi, kelahiran karya-karya
agung dan bermutu, sebetulnya tidak banyak ditentukan oleh masalah-masalah
seperti itu. Tradisi sastra justru hanya bisa dibentuk oleh jiwa dan batin yang
merdeka. Kreativitas hanya bisa berkembang oleh ketajaman kepekaan, kemampuan
intelektualitas, dan kekuatan imajinasi.
Krisis
kebudayaan, yang menghimpit ruang gerak penciptaan sastra selama ini,
membangkitkan kreativitas sastrawan untuk membentuk komunitas sastra beserta
aktivitas-aktivitasnya. Rasa ketidakpuasan, protes, dan kritik terhadap
kehidupan sosial politik di masa rezim orde baru dikemas dalam berbagai bentuk
karya sastra; ada yang dalam bentuk tertulis dan ada yang dalam bentuk lisan,
seperti cerpen-cerpen yang ditulis Seno Aji darma dan pembacaan- pembacaan
puisi oleh W.S. Rendra.
Arus
reformasi melahirkan daya dobrak pembaharuan sosial, budaya, politik, dan
ekonomi. Semua itu mampu menggerakkan obsesi sastrawan untuk
mengekspresikannya, dan membentuk komunitas sastra kontemporer, termasuk Ayu
Utami. Saman mampu mengungkap
carut-marut zamannya. Suatu zaman yang hiruk pikuk dengan peristiwa informasi
politik maupun budaya sehingga sulit untuk terpahami secara hitam putih. Saman, yang tercipta di tengah masa
krisis kebudayaan, menjadi karya yang dijagokan atau karya puncak zamannya. Ada
akar kebudayaan yang membusuk dan melapuk diangkat dan disempurnakan dengan
pembaharuan, tidak hanya sekedar rekaan dan percobaan.
E. PANDANGAN
HIDUP
Novel Saman menceritakan tentang
berbagai masalah yang terjadi ketika Saman
terbit yaitu tahun 1998 saat Presiden
Soeharto berkuasa. Tahun itu merupakan tahun dimana jaman Orde Baru kekuasaan
dengan sewenang-wenang. Saman mampu menangkap peristiwa zamannya dan
mengisahkannya dengan baik. Novel ini juga berisi banyak hal, bukan sekedar
seks, melainkan juga cerita politik, terutama gugatan terhadap kekuasaan Orde
Baru yang militerisme dan kekuasaan patriarki.
“Tak
ada perlakuan yang sama di dalam situasi yang berbeda. Orang-orang yang
berkuasa bisa membeli atau memainkannya. Orang-orang seperti kita kadang bisa
menawar, kadang menjadi mainan aparat yang terlalu berlagak. Ada juga dalam
hidupnya terus-menerus menjadi korban—dan kenapa biasanya orang miskin?” (Saman,
2006:167)
“Kami
menjalankan tugas dari Bapak Gubernur.” Salah satunya mengacungkan selembar
kertas berkop pemda, tapi tidak menyerahkan kepadanya Anson. “Menurut SK beliau
tahun 1989, transmigarsi Sei Kumbang ini harus dijadikan perkebunan sawit.
Perusahaan intinya sudah ditunjuk, yaitu PT Anugrah Lahan Makmur.” (Saman,
2006:90)
“Tapi du orang berseragam hitam-hitam itu
menangkap dan mengunci lengannya, mendorong punggungnya hingga dada serta
pelipisnya mengahantam tanah… Mereka begitu gesit dan terlatih.” (Saman,
2006:101)
“Tapi, bagaimanapun penyiksaan yang kemudian
ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul setiap kali ia
digiring ke ruang interogasi, didudukkan, atau dibiarkan berdiri, sementara ia
menduga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanya selalu
ditutup.” (Saman, 2006:103)
Dalam novel Saman, tujuan yang akan disampaikan oleh Ayu Utami, terlihat dari
diri Ayu sendiri yang menuntut adanya persamaan derajat dengan laki-laki. Novel
ini mengandung kekayaan simbolisme yang digunakan oleh Ayu Utami baik secara
langsung maupun tak langsung mengkritik sistem patriarki. Karakter tokoh
perempuan dari lingkungan kelas ekonomi menengah ke atas memiliki karakter yang
tegas, mandiri, berkeinginan untuk maju, setia pada komitmen yang telah
dibangun bersama, dan berani menghadapi kenyataan.
Peran perempuan dalam novel Saman adalah perempuan-perempuan yang
aktif, berpendidikan, dan mandiri. Mereka menuntut adanya persamaan derajat,
hal ini terlihat dalam tokoh: Laila, wanita aktif yang belum menikah dan
menjadi fotografer; Yasmin Moningka menjadi pengacara di kantor ayahnya
sendiri. Ia juga sudah mendapat izin advokad yang tidak semua lawyer punya;
Shakuntala seorang penari, sejak kecil ia menari. Ia mendapat beasiswa untuk
melanjutkan tarinya di New York, selain itu ia juga melakukan pementasan; dan
Cok nama lengkapnya Cokorda Gita Magaresa, seorang pengusaha hotel. Ia lulusan
sekolah perhotelan di Sahid.
Tokoh perempuan dalam novel Saman juga menentang sistem patriarki, ini terlihat
dari sikap Shakuntala yang sangat membenci bapaknya, ia merasa bapaknya selalu
mengatur hidupnya, dari masalah sekolah, teman hidup, dan pandangan tentang
perkawinan. Aturan/norma yang selama ini dianut Bapaknya sangat ia benci,
bahkan sejak berusia 9 tahun dia sudah tidak perrawan lagi. Bapak merupakan
simbul partiarki, ia sangat tidak setuju dengan sistem tersebut.
Novel Saman karya Ayu Utami
mengkonstruksi perempuan itu pintar, dan aktif dalam berbagai kegiatan.
Penggambaran dari kaum perempuan menentang system patriarki dan norma, terutama
dalam hal seks, seperti cerita perselingkuhan, hubungan seks pra-nikah,
penentangan tentang mitos keperawanan. Dalam novel ini
mengangkat realita tentang konflik sosial yang umumnya terjadi dalam
masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari masalah penindasan rakyat kecil yang
dilakukan oleh orang–orang yang memiliki kekuasaan.