Sabtu, 05 November 2016

Artikel Ilmiah: Kritik Sosial Dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami: Tinjauan Sosiologi Sastra




KRITIK SOSIAL DALAM NOVEL BILANGAN FU KARYA AYU UTAMI:
TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

Oleh:
Gusmawarni
Program Studi Sastra Indonesia
FBS Universitas Negeri Padang

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk kritik sosial penyebab terjadinya kritik sosial. Kajian teori yaitu: 1) Hakikat novel sebagai karya sastra; 2) Novel dalam pandangan sosiologi sastra; 3) Kritik sosial dalam kajian sosiologi sastra. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif dengan metode analisis isi. Data dikumpulkan dengan langkah-langkah, yaitu: 1) Melakukan studi pustaka;  2) Membaca dan memahami novel; 3) Mencatat peristiwa. Kemudian dianalisis:       1) Mengklasifikasikan unsur-unsur novel; 2) Mengklasifikasikan peristiwa-peristiwa; 3) Menginterprestasikan kritik sosial; 4) Melaporkan hasil penelitian. Dapat disimpulkan bahwa, bentuk kritik sosial terdiri dari norma-norma, dan tokoh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat; penyebab terjadinya kritik sosial adalah: ketimpangan sosial, penyalahgunaan kekuasaan, dan wewenang dan politik.
Kata kunci: kritik sosial, tinjauan sosiologi sastra

PENDAHULUAN
Bilangan Fu menceritakan tentang kehidupan budaya jawa dengan corak keagamaan jawa, sehingga alur ceritanya berisi kritik terhadap pelakasaan keagamaan tersebut. Pemilihan novel Bilangan Fu dalam penelitian ini bahwa umum karya sastra berisikan kritik sosial.
Permasalahan sosial dalam novel Bilangan Fu disampaikan melalui tokoh-tokoh yang multiperan. Hal ini dapat dilihat jelas pada penokohan tokoh utama dalam berinteraksi dengan tokoh-tokoh lain, serta kritik sosial yang terjadi dalam novel tersebut. Karena itu adanya novel ini dapat menambah wawasan dan membuka kembali kehidupan yang berkembang saat ini, terutama bagi peneliti sendiri, ataupun penikmat sastra.
Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1988:8). Menurut Atmazaki (2005:28) secara umum karya sastra terbagi atas tiga yaitu: prosa, puisi, dan drama. Karya sastra berbentuk prosa yaitu novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang menghadirkan gambaran kehidupan manusia yang dituangkan oleh pengarang dalam bentuk tulisan.
Menurut Clara Reeve (dalam Atmazaki, 2005:39) novel merupakan gambaran kehidupan dan perilaku nyata pada saat novel itu ditulis. Abrams (dalam Atmazaki, 2005:40) mengatakan sebuah karya bisa dikatakan novel apabila ceritanya memberi efek realitas dengan mempresentasikan karakter yang kompleks dengan motif yang bercampuran dengan kelas sosial.
Novel dibangun oleh unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang berada di dalam novel itu sendiri seperti tema dan amanat, alur/plot, penokohan dan perwatakan, latar, sudut pandang, pusat pengisahan, dan gaya bahasa, sedangkan unsur ekstrinsik adalah segala unsur yang berada di luar karya sastra novel tersebut.
Sosiologi adalah ilmu yang membahas tentang masyarakat. Selo Soemardjan dan soeleman Soemardi mengatakan sosiologi ialah mempelajari struktur sosial dan proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial masyarakat (dalam Soekanto, 2005:20). Novel bilangan fu merupakan novel yang mengangkat tentang spritualisme yang berkembang dalam masyarakat Jawa. Pendekatan pada novel ini berdasarkan pendapat Endraswara (2003: 93) bahwa pendekatan sosiologi sebagai dokumen sosiobudaya memiliki dua segi yakni hubungan dengan aspek sastra sebagai refleksi sosiobudaya dan mempelajari soosiobudaya terhadap karya sastra.
Karya prosa fiksi pada penelitian ini adalah dokumen sosial. Di dalam novel terdapat adanya realitas sosial yang terjadi sehingga novel layak disebut sebagai cerminan masyarakat dalam zamannya. Unsur-unsur realiatas masyarakat pada novel dengan sendirnya membentuk dan menggambarkan tatanan nilai yang terjadi dalam masyarakat.
Penelitian ini akan mengungkap spritualisme yang berkembang dalam masyarakat Jawa. Nilai-nilai spritualitas yang akan dikaji meliputi bagaimana spritualisme agama ketuhanan, spritualisme agama penyembah roh, dan spritualisme agam penyembah binatang yang ada pada masyarakat Jawa.
Penelitian ini akan mengungkap masalah-masalah sosial yang terjadi di dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami, maka pendekatan yang digunakan untuk menganalisis data dalam memperoleh gambaran tentang kritik sosial adalah pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang digunakan untuk memahami latar belakang kehidupan sosial dan budaya dalam suatu masyarakat.
Unsur-unsur sosial yang akan dideskripsikan yaitu: 1) nilai-nilai sosial; 2) interaksi sosial; 3) norma-norma sosial; dan 4) kelompok-kelompok sosial, kekuasaan dan wewenang. Wujud dari aspek sosial yang terjadi pada masa penulisan novel ini akan diteliti sesuai dengan aspek-aspek sosial yang terdapat dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami.
Adapun tujuan dalam penelitian ini yaitu: 1) mendeskripsikan bentuk-bentuk kritik sosial yang terdapat dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami; 2) mendeskripsikan penyebab terjadinya kritik sosial dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami.

METODE PENELITIAN
Teknik pengumpulan data digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) melakukan studi pustaka, terutama referensi yang menunjang ke penelitian; (2) membaca dan memahami novel dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami; (3) mencatat peristiwa yang berhubungan dengan kritik sosial dalam kehidupan masyarakat.
Dalam menganalisis data dalam novel dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami.adalah dengan cara sebagai berikut: (1) mengklasifikasikan peristiwa-peristiwa yang menyimpang dari aspek-aspek sosial yang dilakukan oleh setiap tokoh dalam novel tersebut; (2) menginterpretasikan kritik sosial dan menghubungkan dengan konsep sosial yang ada dalam masyarakat; (3) membuat simpulan dari hasil interpretasi terhadap kritikan perilaku tokoh yang menyimpang;  (4) melaporkan hasil penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Temuan penelitian yang terdapat dalam novel dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami ini dapat dideskripsikan melalui tiga pembagian. Pembagian ini terdiri dari dari: (1) Unsur-unsur novel yang mengungkapkan kritik sosial; (2) bentuk kritik sosial dalam novel dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami; (3) penyebab dari kritik sosial dalam novel dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami.

Unsur-Unsur Novel Yang Mengungkapkan Kritik Sosial
Pengarang menggambarkan beberapa orang tokoh dalam novel Bilangan Fu ini. Tokoh utama adalah “Sandi Yuda”, dikatakan tokoh utama karena dalam setiap penceritaan tokoh utama “Aku” selalu muncul. “si iblis”, seorang pemanjat tebing dan petaruh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat. Seperti terdapat padakutipan berikut ini: “kelingkingmu pasti tumbuh lagi. Tidak sempurna, tapi tumbuh lagi. Percayalah. Taruhan” kataku tanpa pikir panjang. Di usia itu memang anak muda tidak perlu pikir      panjang” (Utami, 2008:6)
Pengarang menceritakan bahwa tokoh aku adalah seorang yang suka bertaruh, bahkan dalam hal-hal yang musykil sekalipun. Terlihat pada kutipan berikut: “Taruhan, ayo. Lelaki itu tidak mau ke dokter. Kalau lelaki itu mati, berarti sesajen itu        tidak ada apa-apanya. Tak bisa melindungi dia. Kalau dia selamat. Berarti sajen itu sakti, kamu pegang yang mana? Kataku” (Utami, 2008:68)
Pengarang juga menggambarkan tokoh tambahan yaitu:
Pertama, Parang Jati. Parang Jati merupakan seorang aktivis alam yang berkaitan erat dengan geologi, dan sangat membenci pemanjatan kotor yang merusak alam seperti memaku dan member tebing. Terlihat pada kutipan berikut: “aku menyahut dengan naada memperolok, “mana ada clean climbing yang lokal. Tekonologi itu mahal bung”. Matanya seperti terbuka. Aku mengagumi kebeninganmya. Jadi kalian selalu memaku dan megebor tebing? Suaranya yang heran justru membuat aku menjadi heran” (Utami, 2008:35).
Kedua, Marja. Seorang gadis bertubuh kuda feji dan berjiwa matahari. Seorang mahasiswa DKV ITB jurusan desain. Marja merupakan kekasih Sandi Yuda. Marja mempunyai sifat cepat bersahabat dan santun. Terbukti pada kutipan berikut. “kamu hebat sekali, ya! Keren!, ia juga membagi perhatian kepada Dayang Sumbi, mengatakan kepadanya bahwa ia cantik sekali, sungghuh seperti suzana dimasa muda. Marja menbagi perhatian dengan santun sekali, seolah-olah wanita itu adalah istri sahabatku” (Utami, 2008:210).
Ketiga, Pete. Pete adalah lawan Yuda didalam kelompoknya, dalam hal yang beda pendapat, bagi Pete dalam pemanjatan lebih mengutamakan keamanan. Terlihat pada kutipan berikut. “pasanglah bor untuk gantungan sedekat mungkin yang mausk akal. Demikian agar kita tidka mempersulit orang lain. Tuhan saja tidak membikin peraturan yang musykil bagi umatnya. Masa kita mau melebhi DIA” (Utami, 2008:71).
Keempat, Oscar. Oscar adalah salah satu teman sepemanjatan. Dalam hal keamanan pemanjatan dia telah lebih berpihak kepada Pete. Terlihat pada kutipan berikut. “ Kau telah tujuh meter di atasku Yuda! Dan medan di atasmu bukan lelucon. Dan jika kau jatuh sekarang, Yuda, percayalah Heksentrik ini retas. Dan jika batu terjepit tempat kau pasang tali ambin yang kau namai pengaman emas ini juga rumpal oleh hentakan, maka selamat berhadapan dengan nasib” (Utami, 2008:74)
Kelima, Kabur Bin Sasus. Kabur Bin Sasus adalah seorang dukun desa yang dipercaya menganut ilmu hitam dan sakti oleh masyarakat setempat. Dia merupakan orang yang tidak percaya dengan pengobatan medis. Terlihat pada kutipan berikut. “Soal nyawa, itu urusan saya dengan gusti Allah. Lalu lelaki itu melakukan sesuatu yang tak kupercaya. Ia menunduk dalam-dalam hingga kepalanya mencapai luka. Sebuah kelenturan seorang pesilat” (Utami, 2008:67).
Keenam, Kupu-Kupu. Kupu-Kupu adalah saudara sekandung Parang Jati. Merupakan orang yang sangat menentang pada bentuk syirik yang terjadi di masayrakat. Terlihat pada kutipan berikut.   “ Baiklah, kami diwajibkan untuk memeperingatkan Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu untuk kembali ke jalan Allah. Kabur Bin Sasus adalah pamanku. Kusangkal dia. Selalu dia telah bersekutu dengan iblis. Tapi, kini seluruh desa hendak pula bersekutu dengan iblis” (Utami, 2008:143).
Dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami terdapat beberapa latar tempat seperti nama nama kota atau daerah tempat peristiwa berlansung yang disebut secara eksplisit dan secara implicit. Secara garis besar, Sewugunung merupakan latar tempat yang dominan dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami. Sedangkan latar tempat yang lain adalah kota Bandung. Sebagian besar cerita dala novel ini terjadi di Sewugunung. Sewugunung merupakan tempat Sandi Yuda dan teman-temannya melakukan ekspedisi pemanjatan tebing.
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita. Latar waktu digunakan dalam novel sangat bervariasi. Pagi hari, terlihat pada kutipan berikut:  “pagi harinya ia telah tentang kembali, seperti seorang istri yang berselingkuh denganku secara binal satu malam dan esoknya berlagu seolah tak kenal” (Utami, 2008:19). Tanggal 25 September, terlihat pada kutipan berikut: “ Tanggal 25 September itu adalah hari ketika aku bertemu dengan seseorang yang tak bisa kulupakan” (Utami, 2008:29). Malam Jumat Kliwon,  terliahat pada kutipan berikut: “Aku menatap penanggalan di dinding dan kutemukan bahwa malam telah beralih Jumat Kliwon. Bagi orang Jawa, hari bersalin di tempat gelap” (Utami, 2008:167).
Bentuk Kritik Sosial Dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami
Analisis kritik sosial berdasarkan norma-norma sosial
Pertama, norma agama. Di dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami terdapat banyak penyimpangan agama yang terlihat pada kutipan berikut: “Baiklah, kami diwajibkan untuk memperingatkan Bapak-bapak dan Ibu-ibu untuk kembali ke jalan Allah. Kabur Bin Sasus adalah pamanku. Kusangkal dia. Sebab dia telah bersekutu dengan iblis. Tapi, kini seluruh desa hendak pula bersekutu dengan iblis” (Utami, 2008:143)
Kedua, norma susila. Norma kesusilaan menyangkut dengan pelanggaran terhadap agama serta hak-hak seorang yang dilecehkan. Terbukti pada kutipan berikut: “Lelaki yang telah jauh lebih tua itu berbicara dengan bahasa Jawa halus, lalu mereka bercakap-cakap dengan karma. Samar-samar aku menangkap usaha pria itu untuk mengingatkan si anak muda agar menghargai suasana duka agar bersikap santun. Kira-kira ia berkata, “siapakah kita ini sehingga berhak menghakimi yang menjadi hak Allah” (Utami, 2008:96);
Ketiga, norma hukum. Norma hokum merupakan aturan dalam masyarakat, dan bagi siapa yang melanggarnya akan mendapat sanksi atau hukuman. Pengarang menceritakan tokoh Parang Jati yang menjadi korban kejahatan yang mengerikan. Terlihat pada kutipan berikut: “Parang Jati tanpa pelindung. Orang-orang menelanjangi dia dan si tuyul. Aku menghardik tapi mereka tak mendengarkan” (Utami, 2008:499).
Keempat, norma kesopanan. Norma kesopanan merupakan salah satu ciri dari perbuatan manusia yang menentukan baik atau buruknya mereka. Terlihat pada kutipan berikut: “Maafkan.  Aku ngelantur. Tapi, pada usia awal duapuluhan itu pikiranku pun pendek dan karena kependekan pikiran itulah aku membenci televisi secara sempit, listrik secara lebih luas, dan kota secara lebih luas lagi” (Utami, 2008:26-27).

Analisis kritik sosial berdasarkan nilai-nilai sosial
Nilai-nilai sosial ditentukan oleh masyarakat yang hidup di suatu tempat. Masyarakat tersebut menentukan sendiri hukuman yang diberikan kepada pelanggar yang ada. Hukuman dapat berupa tindakan ataupun kucilan dari masyarakat. Lihat kutipan berikut: “Ia mengumumkan bahwa pamannya, lelaki yang mati itu, tidak pantas disembahyangkan dan takboleh dimakamkan secara Islam. Sebab, lelaki itu telah musyrik” (Utami, 2008:96). Kutipan tersebut menggambarkan adanya kritik sosial terhadap pelanggaran terhadap norma di tengah masyarakat.
Kritik sosial berdasarkan nilai-nilai juga terlihat pada kutipan berikut: “matanya masih separuh mendelik dan mulutnya berjejak seringai. Kulitnya keunguan, bercarutan bopeng dan bintil-bintil. Barangkali sejak hidupnya ia berjerawat atau bertahilalat, atau pernah terkena cacar (yang anehnya tak sempat kuperhatikan saat berpapasan dulu)” (Utami, 2008:93). Kutipan tersebut menggambarkan kritik sosial yang muncul didasarkan kenyataan.
Analisis kritik sosial berdasarkan kelompok-kelompok kekuasaan dan wewenang
Tujuan dari kekuasaan adalah meraih kepuasaan dalam diri manusia. Wewenang merupakan pengakuan dari orang lain terhadap orang yang memegang kekuasaan. Terlihat pada kutipan berikut: “Dan aku berharap bahwa polisi segera datang, mengamankan sahabatku dari lascar mammon yang haus kuasa dan kebenaran. Biarlah Parang Jati berstatus tahanan Polisi sejenak. Yang penting ia terbebas dari pasukan kebenaran ini” (Utami, 2008:505).
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa kritik sosial terhadap kelompok yang menyalahgunakan wewenangnya tanpa mempertimbangkan norma hokum yang berlaku ditengah masyarakat.kritik sosial yang terlihat adalah norma hokum harus ditegakkan terhadap masyarakat yang melakukan pelanggaran norma, karena keadaan tersebut akan menggambarkan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang terhadap masyarakat.
Analisis kritik sosial berdasarkan interaksi sosial        
Setiap manusia mempunyai hubungan dengan lingkungannya. Hubungan itu melahirkan interaksi diantara mereka. Interaksi itu dapat berupa menegur, percakapan, atau berkelahi. Terlihat pada kutipan berikut: “Aku menyahut dengan nada memperolok. “ Mana ada clean climbing yang lokal. Teknologi itu mahal, Bung!” Matanya seperti terbuka. Aku menggagumi kebeningannya. “Jadi kalian selalu memaku dan mengebor tebing?” (Utami, 2008:35). Kutipan tersebut menggambarkan interaksi yang terjadi antar individu dalam kelompok masyarakat harus berjalan dengan baik agar tercipta rasa saling menghormati.
Penyebab Kritik Sosial Dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami
Ketimpangan sosial
Ketimpangan sosial dalam kehidupan “Kabar Bin Sasus” terlihat dari prilaku dalam menjalankan norma-norma sosial. Tokoh “Kabur Bin Sasus” sering merendahkan norma-norma sosial yang berlaku masyarakat. Itulah kebiasaannya yang tidak mempercayai pengobatan modern. Terlihat pada kutipan berikut: “Soal nyawa, itu urusan saya dengan gusti Allah. Lalu lelaki itu melakukan sesuatu yang tak kupercaya. Ia menunduk dalam-dalam hingga kepalanya mencapai luka. Sebuah kelenturan seorang pesilat, Ia menghisap darah dari sana dan meludahkannya berkali-kali, sambil membaca rapalan. Aku bergidik membayangkan rasa sakit pada luka yang dihirup, serta membayangkan virus-virus rabies berpindah dari sisa liur anjing ke liur lelaki itu” (Utami, 2008:67).
Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang
Setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dinamakan kekuasaan, sedangkan orang yang mempengaruhi akan mendapat dukungan dan pengakuan dari masyarakat (Soekanto, 1990:294). Seperti yang diceritakan dalam novel Bilangan Fu ini kekuasaan sering disalahgunakan. Terdapat pada kutipan berikut: “Dan aku berharap bahwa Polisi segers datang, mengamankan sahabatku dari lascar mammon yang haus kuasa dan kebenaran. Biarlah Parang Jati berstatus tahanan Polisi sejenak. Yang penting ia terbebas dari pasukan kebenaran ini” (Utami, 2008:505).
Kutipan di atas menggambarkan bahwa penyalahgunaan kekusaan sering terjadi di tengah masyarakat sehingga terliahat bahwa kekuasaan dapat menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat. Kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang dapat dilakukan apabila di tengah masyarakat terjadi penyimpangan tanpa mempertimbangkan norma hokum yang telah ditetapkan.
Politik
Penyimpangan sosial dalam masyarakat didasari oleh pergeseran kekuasaan. Peristiwa jatuhnya pemerintahan diktator Soeharto pada tahun 1998 mejadikan suasana politik yang tidak menentu setelah turunnya diktator. Seperti kutipan berikut: “Turunnya Jendral Soeharto didahului dan diiringi kekerasan serta penjarahan di pelbagi kota. Orang-orang china menjadi incaran utama” (Utami, 2008:505).
Kutipan di atas menggambarkan bahwa kritik disebabkan oleh situasi politik yang terjadi di tengah masyarakat yang tidak menghargai kelompok masyarakat lain. Kekerasan dan penjarahan merupakan wujud dari ketidakpastian politik yang terjadi sehingga ada kelompok masyarakat yang dirugikan oleh situasi poitik tersebut.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami ditemukan berbagai bentuk kritik sosial yang terdiri dari norma-norma sosial yaitu norma agama, norma susila, norma hokum dan norma kesopanan. Analisis kritik sosial berdasarkan nilai-nilai sosial, analisis kritik sosial kritik sosial berdasarkan kelompok-kelompok sosial, kekuasaan dan wewenang. Serta kritik sosial berdasarkan interaksi sosial. Tokoh-tokoh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat.
Dapat kita lihat bahwa banyak pelanggaran sosial yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam novel. Mereka tidak tahu atau tidak peduli bahwa pekerjaan yang dilakukannya berdosa atau tidak, benar atau salah. Novel ini telah member perbandingan bagi pembaca, dengan kata lain memberikan kritik terhadap perilaku sosial masyarakat. Dengan demikian Ayu Utami telah memberi kaca banding kepada pembaca, bahwa novel ini dapat memberikan nilai-nilai sebagai suatu kritik sosial.
Berdasarkan hasil deskripsi data dan pembahasan, peneliti mengajukan saran sebagai berikut.    1) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran untuk memahami kritik sosial yang terdapat dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami; 2) Dengan adanya penelitian ini diharapkan pada mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia bisa melanjutkan penelitian lain mengenai kritik sastra terutama tentang novel; 3) Untuk pembaca atau penikmat karya sastra diharapkan tidak hanya dapat menikmati sebuah karya sastra, tetapi hendaknya mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam novel tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Syartika, Riki Harib. 2014.  “Kritik Sosial Dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami: Tijauan Sosiologi Sastra”. Skripsi. Padang: Program Sarjana Universitas Negeri Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar