Rabu, 09 November 2016

ANALISIS UNSUR EKSTRINSIK UTAMA PADA NOVEL SAMAN


ANALISIS UNSUR EKSTRINSIK UTAMA PADA NOVEL SAMAN  
KARYA AYU UTAMI


Saman  adalah pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Ketika pertama kali terbit, Saman  dibayangkan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila Tak Mampir Di New York. Dalam proses pengerjaan, beberapa sub plot berkembang melampaui rencana. Tahun 2001, lanjutannya terbit sebagai novel terpisah berjudul Larung. Kini Saman  dan Larung merupakan dwilogi yang masing-masing berdiri sendiri.
Novel Saman  karya Ayu Utami ini sangat disarankan untuk menganalisanya dari segi apapun. Baik itu dari segi unsur instrinsiknya maupun unsur ekstrinsiknnya. Pada kesempatan kali ini, saya akan menganalisa dari segi unsur ekstrinsik utamanya. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak lansung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Berikut analisis unsur ekstrinsik utama pada novel Saman.

A.    PENGARANG
Ayu Utami yang mempunyai nama lengkap Justina Ayu Utami  dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartina. Ia berasal dari keluarga Katolik.
Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994). Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995)  dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999).  Ayu menggemari cerita petualangan,  seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin.  Selain itu,  ia  menyukai  musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia model.
Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang memasok senjata dan bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia jurnalistik dan  bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R.  Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif  menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator.  Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi.
Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel pertama yang ditulisnya adalah  Saman  (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman  memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di Jurnal Kalam. Karyanya yang lain, Larung, yang merupakan dwilogi novelnya, Saman  dan Larung, juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.
Novel Saman  tentunya sangat terpengaruh besar oleh perjalanan hidup  Ayu Utami dari sekolahnya yang mengambil jurusan sastra sehingga tidak susah bagi penulis untuk menulis dengan gaya bahasa yang bernilai sastra tinggi, kemudian ia juga pernah bersekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995)  dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999), sehingga dia telah mengenal dunia tulis menulis dengan cangkupan yang lebih luas, lalu ia berkarir menjadi wartawan yang tentunya berpengaruh besar terhadap novel Saman . Agama penulis juga sangat berpengaruh besar terhadap isi Novel Saman  yang banyak menceritakan tentang kehidupan seorang pastor, aktifis greja dan banyak  istilah – istilah dalam agama Katolik yang dimunculkan dalam novel Saman.

B.     SENSITIVITAS
Karya sastra Ayu Utami yang muncul pada tahun 1998 yaitu novel Saman, pada masa itu telah runtuh rezim orde baru yang tidak hanya membawa kebebasan untuk bersuara, berpendapat dan berekspresi, namun juga turut mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Perkembangan ini ditandai dengan banyak bermunculan pengarang dan sastrawan baru yang kritis dan lugas dalam mengeluarkan karya-karya sastra dengan menyuarakan kondisi-kondisi sosial yang selama ini menjadi hal tabu untuk dibicarakan untuk diangkat sebagai karya sastra.
Mengenai sensitivitas, novel Saman  karya Ayu Utami merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel tersebut diciptakan. Novel Saman  merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada tahun 1990-an. Pemerintahan pada waktu itu di bawah kekuasaan Soeharto. Pada masa Orde Baru, muncul konflik baru dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru, diantaranya kasus tanah, perburuhan, pendekatan keamanan, dan hak azasi manusia. Novel Saman  merupakan gambaran peristiwa sengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan pada masa Orde Baru. Terlihat pada kutipan berikut.
Kami menjalankan tugas dari Bapak Gubernur.” Salah satunya mengacungkan selembar kertas berkop pemda, tapi tidak menyerahkan kepadanya Anson. “Menurut SK beliau tahun 1989, transmigarsi Sei Kumbang ini harus dijadikan perkebunan sawit. Perusahaan intinya sudah ditunjuk, yaitu PT Anugrah Lahan Makmur.” (Saman, 2006:90)
Kemunculan novel Saman  menjelang saat-saat jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, sempat menghebohkan dunia sastra Indonesia karena isinya yang dianggap kontroversial, mendobrak berbagai tabu di Indonesia baik mengenai politik, toleransi beragama, dan seksualitas perempuan. Ada pihak-pihak yang mengkritik novel tersebut karena dianggap terlalu berani dan panas dalam membicarakan persoalan seks. Banyak pula yang memujinya karena penggambaran novel tersebut apa adanya, polos, tanpa kepura-puraan. Terlihat pada kutipan berikut.
Lalu kami berbaring di ranjang, yang tudungnya pun belum disibakkan, sebab kami memang tak hendak tidur siang. Dia katakan, dada saya besar. Saya jawab tidak sepatah kata. Dia katakana, apakah saya siap. Saya jawab, tolong, saya masih perawan. (Adakah cara lain.) Dia katakan, bibir saya indah. Ciumlah. Cium di sini. Saya menjawab tanpa kata-kata. Tapi saya telah berdosa. Meskipun masih perawan.” (Saman, 2006:4)
Ayu Utami adalah satu diantara sastrawan baru yang memulai karir dalam kesusastraan Indonesia, dengan karyanya Saman  yang telah mengulas hal-hal tabu yang dulunya masih sangat tidak pantas dijadikan karya sastra. Dan Ayu Utami juga telah mempelopori kebebasan dalam mengekspresikan karya sastra. Hal ini disebabkan pandangan hidup seorang Ayu Utami yang bebas dan memiliki pikiran kritis terhadap pemerintah dan ia juga seorang Katolik yang taat agama membuat karyanya Saman  banyak diwarnai oleh pemikiran yang luar biasa yang dituangkan secara terang-terangan. Terlihat pada kutipan berikut.
Tiga lelaki tak berkasut itu lalu telungkup mencium ubin katedral yang dingin… Bapak ibu tua meletakkan harapan seperti kuk dan salib, namun pastor diosesan muda itu kini merasa sebagai seorang prajurit dalam sebuah legiun. Tugasnya akan ditentukan oleh Bapa Uskup.(Saman, 2006:40-41)

C.    IMAJINASI
Pada novel Saman  karya Ayu Utami mampu menggiring pembaca kepada dunia yang seolah-olah merupakan realitas yang sesungguhnya. Setelah membaca novel Saman, saya berfikir dan berpendapat bahwa kreativitas Ayu Utami lebih terlihat pada unsur latar novel Saman. Maksudnya, latar yang dihadirkan Ayu mampu mengangkat ide cerita dan mengemas tema novel Saman  menjadi utuh. Latar juga yang mampu mewujudkan konflik-konflik itu sistematis dan hidup dalam kondisi yang seolah-olah alami. Latarlah yang menjadikan Saman  berbeda dari novel lainnya. Latar yang membuat Saman  seolah-olah menjadikan dunia fiktif menjadi dunia ilmiah dan dunia yang sesungguhnya. Terlihat pada kutipan berikut.
Perabumulih 1962.
”Perabumulih masih kota minyak di tengah Sumatera Selatan yang sunyi masa itu. Cuma ada satu bioskop, sehingga orang-orang biasa membawa anak-anak bertamasya ke rig luar kota, melihat mesin penimba minyak mengangguk-angguk seperti dinosaurus.” (Saman, 2006:45)
Juga terlihat dari Yasmin dan Saman yang saling bertukar surat dari latar tempat yang berbeda. Terlihat pada kutipan berikut.
Jakarta, 9 Juni 1994
Untuk Saman:
“Di taman Firdaus ada seorang lelaki yang terkejut….” (Saman, 2006:191)

New York, 13 Juni 1994
Yasmin,
“Aku cemburu. Kamu bersetubuh, aku tidak. Bukankah Lukas lebih perkasa? Aku terlalu cepat….” (Saman, 2006:194)

Novel Saman mengedepankan sosok perempuan dalam fenomena tubuh yang ideologis. Tubuh perempuan menyerupai sebuah lorong yang panjang dan digambarkan Ayu Utami sebagai sesuatu yang sangat eksis seperti pada kutipan berikut:
“…Aku menari karena aku sedang merayakan tubuhku…, si Penari haruslah sintal dan lentur supaya geraknya menjadi indah bagi hadirin, tidak boleh terlalu bertenaga agar feminin…, Maka, di pentas ramai itu ia pun menjadi seorang ledek: melenggok untuk memuaskan penonton….” (Saman , 2006:126).
Pada bahagian lain, Ayu Utami memperlihatkan dunia lain. Dunia yang tidak pernah disentuh oleh perempuan khususnya bagi yang belum menikah. Dunia laki-laki dipersoalkan dan imajinasi tentang tubuh laki-laki dibangunnya dengan serba seksi. Gaya pengekspresian Ayu Utami seperti itu memperlihatkan bagaimana cara pandangan perempuan terhadap dunia kesadaran laki-laki. Ayu Utami berusaha untuk membongkar makna hakiki dari peristiwa yang ditampilkan. Permasalahan yang masih berhubungan dengan masalah seks yang diungkapkan secara vulgar oleh Ayu Utami. Terlihat pada kutipan berikut.
Vaginismus. Aku pernah dengar seorang perempuan yang tidak bisa berhubungan seks. Vaginanya selalu menutup setiap kali ada penis di ambangnya baru permisi. Dia trauma pada seksualiatasnya hingga ke bawah sadar. Dia di satu ekstrim, aku di ekstrim lain.(Saman, 2006:126)
Dengan demikian, sebuah teks akan mampu melampaui gaya ungkap secara personal, berupa dunia kesadaran atau sebaliknya. Inilah yang dilakukan Ayu dalam Saman  dengan menggunakan kalimat-kalimat yang agak vulgar. Gaya pengungkapannya yang bersifat personal yang sebangun dengan imajinasinya mencerminkan ambiguitas tokohnya.
Pengungkapan yang penuh simbol dan diksi-diksi yang mencerminkan upaya Ayu Utami untuk meliarkan imajinasinya pada tingkatan yang bebas. Pada fragmen-fragmen tertentu, terjadi dialog intensif mengenai petualangan seksualitas yang dilukiskan secara sadar dan tidak sadar. Seksualitas dan perempuan dikemas menjadi narasi-narasi yang utuh. Inilah yang membuktikan Ayu Utami memiliki kreativitas yang tinggi dalam mengemas pengalamannya. Terlihat pada kutipan berikut.
Laila, kamu pernah dengar anekdot tentang pengantin baru yang bodoh? Mereka main tanpa lampu. Si suami setengah mati berusaha memperawani. Waktu akhirnya dia berhasil dengan penuh keringat dan lega karena istrinya ternyata masih perawan tulen, ternyata si istri belum buka celana dalam dan yang ditembusnya adalah celana dalam…(Saman, 2006:127)
Ayu Utami terasah oleh komunitas utan Kayu. Dalam komunitas ini, ia membentuk dan mematangkan ketajaman visi; ia bergulat menemukan ekspresi bahasa; menemukan gaya pengungkapan yang berbeda dari gaya yang lain.

D.    INTELEKTUAL
Penciptaan novel Saman sejalan dengan kondisi sosial politik Indonesia; kondisi kehidupan sosial politik Indonesia yang lagi sembraut. Novel Saman  lahir di tengah tuntutan reformasi yang berapi-api. Pemahaman sastrawan untuk melakukan pendobrakan karena mereka terjajah oleh kesombongan kekuasaan.
Akan tetapi, keterjajahan itu tidak mematikan kreativitas para sastarawan. Masalah pelarangan buku dan pelarangan berekspresi (pementasan teater, pembacaan puisi, pagelaran lagu-lagu, dan lain-lain) akan mengganggu berlangsungnya proses kreatif. Akan tetapi, kelahiran karya-karya agung dan bermutu, sebetulnya tidak banyak ditentukan oleh masalah-masalah seperti itu. Tradisi sastra justru hanya bisa dibentuk oleh jiwa dan batin yang merdeka. Kreativitas hanya bisa berkembang oleh ketajaman kepekaan, kemampuan intelektualitas, dan kekuatan imajinasi.
Krisis kebudayaan, yang menghimpit ruang gerak penciptaan sastra selama ini, membangkitkan kreativitas sastrawan untuk membentuk komunitas sastra beserta aktivitas-aktivitasnya. Rasa ketidakpuasan, protes, dan kritik terhadap kehidupan sosial politik di masa rezim orde baru dikemas dalam berbagai bentuk karya sastra; ada yang dalam bentuk tertulis dan ada yang dalam bentuk lisan, seperti cerpen-cerpen yang ditulis Seno Aji darma dan pembacaan- pembacaan puisi oleh W.S. Rendra.
Arus reformasi melahirkan daya dobrak pembaharuan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Semua itu mampu menggerakkan obsesi sastrawan untuk mengekspresikannya, dan membentuk komunitas sastra kontemporer, termasuk Ayu Utami. Saman  mampu mengungkap carut-marut zamannya. Suatu zaman yang hiruk pikuk dengan peristiwa informasi politik maupun budaya sehingga sulit untuk terpahami secara hitam putih. Saman, yang tercipta di tengah masa krisis kebudayaan, menjadi karya yang dijagokan atau karya puncak zamannya. Ada akar kebudayaan yang membusuk dan melapuk diangkat dan disempurnakan dengan pembaharuan, tidak hanya sekedar rekaan dan percobaan.

E.     PANDANGAN HIDUP
Novel Saman  menceritakan tentang berbagai masalah yang terjadi ketika Saman  terbit yaitu tahun 1998 saat Presiden Soeharto berkuasa. Tahun itu merupakan tahun dimana jaman Orde Baru kekuasaan dengan sewenang-wenang. Saman  mampu menangkap peristiwa zamannya dan mengisahkannya dengan baik. Novel ini juga berisi banyak hal, bukan sekedar seks, melainkan juga cerita politik, terutama gugatan terhadap kekuasaan Orde Baru yang militerisme dan kekuasaan patriarki.
Tak ada perlakuan yang sama di dalam situasi yang berbeda. Orang-orang yang berkuasa bisa membeli atau memainkannya. Orang-orang seperti kita kadang bisa menawar, kadang menjadi mainan aparat yang terlalu berlagak. Ada juga dalam hidupnya terus-menerus menjadi korban—dan kenapa biasanya orang miskin?” (Saman, 2006:167)
 Kami menjalankan tugas dari Bapak Gubernur.” Salah satunya mengacungkan selembar kertas berkop pemda, tapi tidak menyerahkan kepadanya Anson. “Menurut SK beliau tahun 1989, transmigarsi Sei Kumbang ini harus dijadikan perkebunan sawit. Perusahaan intinya sudah ditunjuk, yaitu PT Anugrah Lahan Makmur.” (Saman, 2006:90)
Tapi du orang berseragam hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lengannya, mendorong punggungnya hingga dada serta pelipisnya mengahantam tanah… Mereka begitu gesit dan terlatih.” (Saman, 2006:101)
Tapi, bagaimanapun penyiksaan yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul setiap kali ia digiring ke ruang interogasi, didudukkan, atau dibiarkan berdiri, sementara ia menduga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanya selalu ditutup.” (Saman, 2006:103)
Dalam novel Saman, tujuan yang akan disampaikan oleh Ayu Utami, terlihat dari diri Ayu sendiri yang menuntut adanya persamaan derajat dengan laki-laki. Novel ini mengandung kekayaan simbolisme yang digunakan oleh Ayu Utami baik secara langsung maupun tak langsung mengkritik sistem patriarki. Karakter tokoh perempuan dari lingkungan kelas ekonomi menengah ke atas memiliki karakter yang tegas, mandiri, berkeinginan untuk maju, setia pada komitmen yang telah dibangun bersama, dan berani menghadapi kenyataan.
Peran perempuan dalam novel Saman adalah perempuan-perempuan yang aktif, berpendidikan, dan mandiri. Mereka menuntut adanya persamaan derajat, hal ini terlihat dalam tokoh: Laila, wanita aktif yang belum menikah dan menjadi fotografer; Yasmin Moningka menjadi pengacara di kantor ayahnya sendiri. Ia juga sudah mendapat izin advokad yang tidak semua lawyer punya; Shakuntala seorang penari, sejak kecil ia menari. Ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan tarinya di New York, selain itu ia juga melakukan pementasan; dan Cok nama lengkapnya Cokorda Gita Magaresa, seorang pengusaha hotel. Ia lulusan sekolah perhotelan di Sahid.
Tokoh perempuan dalam novel Saman  juga menentang sistem patriarki, ini terlihat dari sikap Shakuntala yang sangat membenci bapaknya, ia merasa bapaknya selalu mengatur hidupnya, dari masalah sekolah, teman hidup, dan pandangan tentang perkawinan. Aturan/norma yang selama ini dianut Bapaknya sangat ia benci, bahkan sejak berusia 9 tahun dia sudah tidak perrawan lagi. Bapak merupakan simbul partiarki, ia sangat tidak setuju dengan sistem tersebut.
Novel Saman  karya Ayu Utami mengkonstruksi perempuan itu pintar, dan aktif dalam berbagai kegiatan. Penggambaran dari kaum perempuan menentang system patriarki dan norma, terutama dalam hal seks, seperti cerita perselingkuhan, hubungan seks pra-nikah, penentangan tentang mitos keperawanan. Dalam novel ini mengangkat realita tentang konflik sosial yang umumnya terjadi dalam masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari masalah penindasan rakyat kecil yang dilakukan oleh orang–orang yang memiliki kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar